Reklamasi pantai adalah mega proyek yang mulai berlangsung sejak awal 90-an dan hingga kini masih terus berlangsung di sepanjang pesisir teluk Manado. Penimbunan lahan untuk dijadikan kawasan mega bisnis yang ditandai dengan berdirinya kuil-kuil belanja dan menjamurnya industri perbankan serta beragam tempat hiburan untuk para pekerja yang kelelahan. Luas lahan yang ditimbun di areal reklamasi mencapai hingga ribuan hektar yang disebar kepada beberapa pengembang besar.
Bersamaan dengan itu, perjuangan nelayan tradisional yang berada di sepanjang pesisir pantai Manado juga terus dilakukan secara sporadis. Hingga pada tahun 2009, nelayan-nelayan yang tersebar di beberapa titik perlawanan mulai menggagas untuk membangun sebuah jaringan komunikasi antar titik ini dan memulai solidaritas langsung setiap kali ada kelompok masyarakat nelayan tradisional yang menghadapi konflik.
Di kota Manado sendiri, ada dua titik terpanas yang secara terbuka melakukan aksi langsung berupa okupasi dan sabotase untuk menghentikan aktifitas penimbunan pesisir pantai. Yang pertama adalah nelayan tradisional di Sario-Tumpaan. Musuh yang dihadapi adalah pengusaha Henky Wijaya dengan perusahaan kontraktor bernama PT. Kembang Utara. Setelah mengalami kebuntuan dalam pertaruangan legal, yang kemudian disadari oleh nelayan sebagai upaya yang sia-sia, aksi-aksi langsung kemudian mulai dilakukan dengan berbagai metode baru yang sebelumnya tidak pernah dicoba.
Salah satu yang dilakukan adalah sabotase berupa penghadangan dan pemblokiran, hingga melakukan okupasi ruang dengan mendirikan Daseng (tempat berkumpulnya nelayan). Daseng yang awalnya hanya berfungsi sebagai garasi pinggir pantai untuk peralatan tangkap nelayan sekaligus sebagai tempat melepas lelah saat menambatkan perahu diberi nilai baru: resistensi permanen. Nelayan kemudian mendirikan Daseng di tengah jepitan lahan reklamasi sejak tahun 2009 yang masih berdiri sampai saat ini. Terakhir, nelayan yang marah akhirnya melakukan pemblokiran pintu masuk lalu lintas truk pengangkut material timbunan untuk menghentikan aktifitas reklamasi.
Titik kedua adalah nelayan di sepanjang pantai Malalayang II yang terus melawan upaya reklamasi oleh seorang pengusaha bernama Agus Abidin. Reklamasi yang dilakukan oleh Abidin juga menggunakan metode represif untuk menghadapi perlawanan nelayan dengan menggunakan intervensi polisi dan preman. Perlawanan nelayan Malalayang II tak pernah padam menghadapi gelombang represi yang dilakukan oleh pihak reklamator untuk sementara berhasil menginterupsi aktifitas penimbunan.
Dalam aksi-aksi resistensi ini, terdapat juga beberapa individu aktifis anti-otoritarian yang ikut bergabung sebagai bentuk solidaritas langsung dan horizontal. Sebelumnya, sekelompok orang dengan menggunakan label Fraksi Anti Otoritarian juga ikut memberikan solidaritas kepada nelayan tradisional dengan melakukan okupasi di lokasi reklamasi yang terdapat di pantai Sario-Tumpaan bersamaan dengan perayaan spektakular Hari Bumi Internasional.
Namun, seperti gelombang pasang yang tak pernah habis, masalah selalu datang. Kali ini, nelayan Malalayang II kembali menghadapi masalah yang sama; reklamasi. Namun kali ini musuhnya adalah seorang pemilik lahan bernama dr. Awaludin yang memiliki petak lahan di pinggir pantai. Meski telah diingatkan oleh nelayan agar aktifitas pengerasan petak lahan yang sedang dilakukan oleh para pekerja jangan sampai berubah menjadi penimbunan area pantai, kesengajaan tampak jelas dilakukan. Awaludin bahkan menyewa preman untuk mengamankan aktifitas penimbunan pantai. Pihak kepolisian dan pemerintah juga sangat jelas memihak pihak penimbun dengan balik menuduh warga sebagai pengganggu ketertiban dan pencari masalah.
Teror kemudian menjadi senjata utama bagi musuh untuk memukul mundur perjuangan gigih nelayan Malalayang II yang bersikukuh mempertahankan pantai dan laut. Mulai dari teror dengan pamer senjata oleh polisi di lokasi penimbunan, penculikan paksa dua orang nelayan Malalayang II yang dituduh sebagai “pemimpin dan provokator” dari aksi penolakan, hingga penambahan tenaga preman untuk mengamankan kegiatan reklamasi. Rasa marah akhirnya membuat nelayan memutuskan untuk melakukan aksi langsung dengan cara menyerang alat berat yang digunakan untuk menimbun hingga melakukan blokade dengan cara menduduki pohon-pohon di pesisir pantai yang menjadi target untuk dirobohkan pihak reklamator.
Taktik yang terakhir kemudian menuai korban di pihak nelayan, saat dua orang perempuan ditimpa pohon rubuh karena berkeras untuk tidak membubarkan diri dan menghentikan blokade. Salah satu korban yaitu L sedang mengandung janin berusia tiga bulan, sementara korban lain yaitu A mengalami gegar otak serius hingga mesti dilarikan ke rumah sakit untuk menjalani perawatan dan pemeriksaan lebih lanjut. Dan seperti telah diketahui bagaimana diskriminatifnya institusi kesehatan. Pelayanan yang buruk ditambah dengan ketiadaan biaya membuat korban tidak mendapatkan perawatan yang diinginkan.
Kami meminta kepada setiap individu, kolektif ataupun afinitas untuk dapat membantu biaya perawatan dua nelayan yang menjadi korban dalam rangkaian penolakan reklamasi pantai. Bantuan dapat dialamatkan di:
Bank Nasional Indonesia
no. rek: 012 99 48 212
Themmy Aditya
Bagi kami -yang menyebarkan seruan ini- siapapun yang menyerang negara dan kapital juga mesti memberikan solidaritas mutual dan horizontal kepada setiap individu yang juga sedang memerangi dan berupaya menginterupsi ekspansi kapital dan menegasikan kekuasaan negara, sekecil apapun itu. Respek sebagai sesama musuh negara dan kapital adalah alasan mengapa kami meluaskan dan menyerukan solidaritas langsung terhadap siapapun yang ingin mengulurkan tangan. Meski di saat yang bersamaan, kami tak ingin membatasi bentuk solidaritas yang nanti muncul dan diberikan kepada perjuangan nelayan tradisional di Manado.
Panjang umur perlawanan desentralis dan otonom!
Panjang umur aksi langsung dan sporadis!
Pingback: Greece: Banner over the Aegean Sea, in solidarity with the fisherfolk’s fight in the Manado Bay (Indonesia) « Contra Info
Pingback: Greece: Banner over the Aegean Sea, in solidarity with the fisherfolk’s fight in the Manado Bay (Indonesia) | disaccords
The call-out in Spanish -> http://es.contrainfo.espiv.net/2012/07/12/manado-indonesia-llamado-de-solidaridad-con-la-lucha-de-lxs-pescadores-tradicionales-contra-la-destruccion-de-la-zona-litoral
Pingback: Manado, Indonesia: Llamado de solidaridad con la lucha de lxs pescadores tradicionales contra la destrucción de la zona litoral « Contra Info
Pingback: from indonesia